“ TRANSFORMASI POLRI YANG HUMANIS , APAKAH PERUBAHAN YANG POSITIF ATAU NEGATIF ? “

Ramah, pelindung, dan perisai negara adalah tiga kata yang menggambarkan sosok Polri dimata masyarakat saat ini. Seperti yang kita ketahui, Polri saat ini masih terus berupaya meningkatkan kemampuan diri untuk menghadapi perkembangan zaman dan tantangan disrupsi teknologi yang begitu canggih di era revolusi 5.0. Di era seperti saat ini, berbagai macam masalah serius mulai bermunculan di masyarakat. Kejahatan yang terkait dengan teknologi saat ini meningkat tajam dan berevolusi menjadi semakin canggih. Jika tidak dihadapi dengan kemampuan yang berimbang,maka dapat dipastikankejahatan itutidakdapat dibendung lagi. Dalam konteks ini, Polri haruslah cepat tanggap di dalam mengantisipasi hal itu. Meskipun hal tersebut akan selalu menjadi beban tambahan Polri di saat tugas-tugas lain menanti, yaitu penuntasan segera kasus-kasus permasalahan yang ada di masyarakat.

Perubahan wajah di tubuh Polri yang semakin mutakhir dan canggih tidak membuatnya menjadi garang dan menakutkan.Justru sebaliknya, Polri mampu menampilkan citra yang humanis serta inovatif. Perubahan Polri yang semakin humanis tersebut tentunya berpotensi untuk meningkatkan empati di masyarakat. Sehingga dari empati dan simpati dari masyarakat maka akan muncul sikap kooperatif masyarakat di dalam memerangi kejahatan. Apalagi di tambah dengan perubahan sikap yang suka menolong tanpa pamrih kepada masyarakat, tanpa membedakan suku, agama dan ras, seperti yang banyak beredar di media sosial, tentunya hal itu semakin menjadikan Polri memiliki citra yang positif di masyarakat. Sebelum menilik lebih jauh dampak perubahan Polri yang semakin humanis, perlu terlebih dahulu melihat kronologi singkat sejarah dari institusi Polri guna memahami dinamika yang ada.

Menurut website Polri, sejarah berdirinya institusi resmi Kepolisian Republik Indonesia sudah memiliki catatan waktu yang sangat panjang. Bahkan, sudah muncul sejak zaman kerajaan maupun zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Akan tetapi, beberapa kali sempat mengalami reorganisasi. Dinyatakan bahwa zaman dulu terdapat rombongan pasukan yang memiliki otoritas dalam membentengi para raja dalam sebuah kerajaan. Rombongan pasukan tersebut dijuluki dengan istilah yang hampir sama dengan zaman modern sekarang, yakni bernama Bhayangkara.

Pembentukan rombongan pasukan masih berlanjut hingga masa di mana Nusantara dijajah oleh Belanda. Akan tetapi, pembentukan rombongan pasukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pribumi. Hal ini dimaksud untuk melindungi harta benda dan kekayaan orang Eropa pada saat itu. Bentuk rombongan pasukan pada zaman penjajahan Belanda pun beraneka ragam seperti : Polisi Lapangan, Polisi Kota dan Polisi Pertanian. Polisi pada zaman Belanda menjajah Nusantara juga merupakan cikal bakal dari apa yang sekarang disebut sebagai Institut Kepolisian Indonesia.

Berlanjut pada masa pendudukan Jepang di Nusantara, seluruh kantor polisi di daerah – daerah, dipimpin oleh seorang polisi Indonesia. Namun, selalu didampingi pasukan Jepang yang dibekali perlengkapan militer lebih dari polisi Indonesia. Pada masanya, Jepang hanya membentuk satu bentuk kepolisian, yang dalam bahasa jepang disebut Keisatsutai, yang berarti “polisi”. Walaupun demikian, Jepang juga turut serta dalam mendirikan sebuah organisasi Peta (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air ) di Jawa. Tujuan Jepang membentuk PETA adalah untuk memikat simpati agar rakyat Indonesia dapat mendukung militer Jepang.

Sampai di periode awal kemerdekaan Indonesia, kepolisian berstatus terpisah antara sipil dan militer di mana dalam institusinya memiliki peraturan tersendiri. Anggota Polri saat periode tersebut dikenal sebagai Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia sedangkan bagi istri polisi hingga saat ini dikenal dengan sebutan Bhayangkari. Namun, masa awal kemerdekaan Indonesia masih belum memiliki kantor tersendiri bagi Polri. Kemudian, Kapolri Jendral Polisi R.S. Soekanto yang dilantik oleh Soekarno sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) merencanakan tempat kerja tersendiri dengan menggunakan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN). Akan tetapi, sampai sekarang ini memiliki sebutan baru menjadi Markas Besar Kepolisian yang tentunya tidak mengurangi fungsi dan tujuan berdirinya institusinya tersebut.

Era pemerintahan pertama Presiden Republik Indonesia Dr. Ir Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Namun, saat itu Jendral Polisi R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya karena ingin menegakkan prinsip bahwa secara profesionalisme kepolisian berbeda dengan ABRI. Hanya saja Presiden Soekarno tidak memperhatikan masukan tersebut dan memasukkan Polri ke dalam tubuh Abri. Sehingga di dalam ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Setelah memasuki Orde Baru, Polri pun akhirnya berpisah dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan dengan demikian memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dengan ABRI secara spesifik di mata masyarakat. Institusi Polri pun akhirnya menjadi lembaga yang profesional dan mandiri.

Berdasarkan beberapa kilas balik sejarah tersebut, sebenarnya terdapat fakta yang belum disingkapkan bahwa di mata masyarakat Polri dinilai berbeda-beda pada masa-masa tertentu. Citra positif Polri yang humanis dan merakyat seperti yang kita kenal saat ini, sebenarnya berbanding terbalik dengan citra Polri di awal berdirinya. Perubahan menjadi humanis dan bersahabat seperti saatini, terjadi melalui proses yang panjang. Di era Orde Lama, menurut penuturan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Kristanto Yoga Darmawan, Polri lebih condong menjadi alat kekuatan politik mengkhianati hati nurani masyarakat. Oleh sebab itu, Polri dapat dikatakan cenderung berkultur arogan dan antagonis, sehingga menimbulkan antipati dan penolakan di lingkungan masyarakat.

Diera Orde Baru setelah berpisah dari angkatan bersenjata, citra Polri yang buruk di masyarakat cenderung tidak berubah. Bahkan menurut Harry Anwar, rektor fakultas hukum Universitas Langlangbuana menyatakan bahwa pada saat itu Polri masih terlihat otoriter, turut campur tangan atau intervensi dalam penegakan hukum. Selain itu, menurutnya institusi kepolisian penuh dengan praktik suap – menyuap dalam hal penerimaan anggota baru Polri maupun dalam penegakan hukum di lapangan. Ketika berhadapan dengan masyarakat, Polri lebih dipandang sebagai satuan militer yang keras, jauh dari kata pelindung.

Citra Polri yang negatif dimata masyarakat juga tidak kunjung berubah ketika Indonesia memasuki era reformasi. Di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono {SBY}, masyarakat sempat dikejutkan dengan perseteruan antara Polri dengan KPK. Konflik terjadi karena kedua institusi tersebut melakukan pekerjaan pada objek yang selevel, yaitu sama-sama menegakkan hukum dalam penanganan kasus korupsi. Perseteruan Polri dengan KPK tersebut menjadikan Polri sebagai jawatan paling antagonis di masyarakat yang sedang meradang karena ulah para koruptor yang telah merugikan negeri ini. Dalam hal ini Polri terlihat melawan itikad baik dari KPK yang hendak memberantas koruptor tersebut. Peristiwa perseteruan antara Polri dan KPK di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikenal dengan metafora “Cicak vs Buaya.” Metafora tersebut merupakan perwujudan dari amarah masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum di Indonesia. Dengan menyimbolkan Kepolisian sebagai buaya dan KPK sebagai cicak.

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono {SBY} menjadi puncak pertama kalinya perseteruan Cicak versus Buaya. Pada masa itu, Kepolisian dikepalai oleh Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Kala itu, Komisaris Jenderal Polisi (Komjen), Susno Duadji dituduh terlibat korupsi pencairan dana Budi Sampoerna di kasus Bank Century. Seketika Susno Duadji langsung mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri tidak menganggapi pengunduran diri Susno Duadji . Beliau justru mencopot Susno dari jabatannya dan menggantikannya dengan Komjen, Drs. Ito Sumardi. Hal ini berawal dari Susno Duadji yang banyak dibicarakan oleh khalayak umum ketika Iya berani melontarkan kata - kata kontroversial mengenai institut Polri dengan KPK. Dalam konteks inilah, hubungan antar kedua belah pihak institusi semakin renggang. Akan tetapi, setelah dipecat, Susno malah melontarkan tuduhan ke Institut Polri dengan menyebutkan bahwa terjadi kasus makelar dalam beberapa petinggi Polri yang turut melibatkan pegawai Ditjen Pajak. Oleh sebab itu, para petinggi Polri menjadi gusar dengan aksi Susno Duadji. Bahkan, Susno kemudian menjadi saksi kasus pembunuhan yang menyeret mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Biarpun demikian, kasus Susno Duadji menjadi pelajaran bagi institut kepolisian untuk selalu panjang akal dalam menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan tepat. Hingga dalam kurun waktu yang singkat, terpilihlah Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo menggantikan jabatan Kapolri sebelumnya. Tepatnya pada awal Oktober 2012, kasus kedua yang bermula dengan dugaan korupsi simulator SIM senilai 196 miliar. Hal ini melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 27 Juli 2012. Beberapa hari setelah penetapan tersangka, KPK melakukan penggeledahan di kantor Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Jakarta. Dalam kegiatannya, tim KPK sempat dipersulit. Barang bukti yang hendak diangkut direbut kembali untuk dibawa masuk ke kantor Korps Lalu Lintas. Aksi ini seolah "dibalas" oleh Polri dengan mengepung gedung KPK. Menurut presiden yang kala menjabat saat itu, SBY menyebut bahwa masalah ini tidak seharusnya terjadi jika KPK dan POLRI bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas.

Oleh karna itu, citra buruk polisi semakin diperburuk dengan adanya laporan kekerasan yang tertulis dalam jurnal Universitas Gajah Mada oleh Agus Raharjo, yang mendata tindakan buruk Polri terutama dalam penegakan hukum. Laporan tersebut berhasil mengumpulkan bukti sebanyak 140 kasus, di mana Polri terlibat dalam tindakan pemaksaan kepada saksi mata dalam mengakui perbuatan untuk dijadikan sebagai tersangka. Misalnya, pada kasus kematian seorang anak di Gorontalo, di mana Rimsan dan Rostin dipaksa untuk mengakui bahwa perbuatan itu dilakukan oleh mereka, padahal barang bukti menunjukkan bahwa mereka bukan pelakunya. Lalu kasus kedua mengenai penanganan demonstrasi yang berujung pada kekerasan berupa pemukulan mahasiswa di Universitas Cendrawasih. Agus Sapari dan Ni Made Taganing Kurniati, staf pengajar psikolog di Universitas Gunadarma menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebut pemerintah tidak tegas untuk menegur Polri dalam menangani kasus di Universitas Cendrawasih tersebut. Kasus ketiga Polri yang turut mencoreng nama baik institusi kepolisian ini adalah mengenai ketidaktuntasannya menangani kasus orang hilang. Karena itu, muncul institusi independen “KomisiOrangHilang dan Tindak Kekerasan” (Kontras), yang bertugas untuk menuntut kepolisian menuntaskan kasus tersebut dan menghentikan Polri yang menggunakan pendekatan dengan cara kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Citra Polri baru mengalami perubahan ketika Jenderal Polisi Prof. Drs. H. Tito Karnavian, menjadi Kapolri. Di era tersebut Polri mulai menampakkan diri dengan wajah yang berbeda. Polri mulai berusaha mewujudkan harapan masyarakat yang menginginkan Polri berwajah humanis. Karena itu Jenderal Polisi Tito Karnavian meluncurkan 11 agenda program prioritas dalam institusi kepolisian tersebut. 11 Program Jendral Polisi Tito Karnavian di antaranya, yaitu : Pertama, pemantapan reformasi internal Polri. Kedua, Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis TI. Ketiga, Penanganan kelompok radikal pro - kekerasan dan intoleransi yang lebih optimal. Keempat, Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan. Kelima, Peningkatan kesejahteraan anggota Polri. Keenam, Tata kelembagaan, pemenuhan pro - porsionalitas anggaran dan kebutuhan Min Sarpras. Ketujuh, membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap Kamtibmas. Kedelapan, Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Kesembilan, Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan. Kesepuluh, Penguatan pengawasan. Terahkir adalah Quick Wins Polri.

Survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa Polri mampu masuk dalam tiga besar lembaga negara yang memiliki tingkat kepercayaan publik terbaik sebesar 63,2 persen. Kemudian, berdasarkan survei ditahun 2017, Polri juga mampu menunjukkan perbaikan kinerja, bahkan kepuasan publik meningkat menjadi 67,6 persen. Di tahun 2018, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meningkat hingga sebesar 82,9 persen. Alvara Research Center menyatakan bahwa Polri merupakan satu dari dua lembaga yang memiliki tren kenaikan tingkat kepuasan publik. Data ini didukung juga oleh organisasi International, yakni Gallup Organization yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat sembilan negara aman di dunia. Pencapaian positif tersebut merupakan implementasi dari Program Jenderal Tito Karnavian yang memfokuskan pada 3 kebijakan, yakni Peningkatan Kinerja, Perbaikan Kultur, dan Manajemen Media.

Beberapa program di antaranya juga merupakan program lanjutan yang berasal dari kebijakan Kapolri sebelumnya seperti penanganan kasus terorisme. Kemudian program yang memudahkan masyarakat dalam membuat SIM secara online. Dalam proses pembuatan SIM tersebut, Polri mulai menampakkan perubahan sistem yang transparan di dalam pengurusan dokumen yang dapat memudahkan masyarakat. Selama kurang lebih dua tahun Jendral Polisi Tito Karnavian memimpin, Polri mampu menunjukkan kinerja yang baik sehingga kepercayaan masyarakat pun meningkat.

Ketika Jenderal Polisi Tito Karnavian ditunjuk untuk menjadi Menteri Dalam Negeri, Presiden Joko Widodo secara resmi menunjuk Jendral Polisi Idham Azis sebagai Kapolri untuk meneruskan program yang digagas Jendral Polisi Tito Karnavian. Sebelumnya Jendral Polisi Idham Azis merupakan Kapolda Metro Jaya. Tentunya pemilihan tersebut bukanlah secara terburu – buru sesuai dengan peribahasa “Takkan lari gunung dikejar, hilang kabat tampaklah dia”. Melainkan, terdapat banyaknya kasus besar yang telah ditangani oleh Jendral Polisi Idham Azis yaitu kasus Bom Bali maupun kasus pengepungan vila di Kota Batu, Malang, yang menjadi tempat persembunyian terduga teroris, Dokter Azahari.

Namun, era kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis masih tercatat memiliki utang kasus yang masih belum terpecahkan. Melalui website resmi institusi independen Indonesia Police Watch (IPW) mencatat terdapat dua utang kasus besar yang ditinggalkan Jenderal Polisi Idham Azis saat menanggalkan kursi kepimpinannya yaitu kasus pembunuhan satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah, yang diduga dilakukan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) dan penembakan yang menewaskan enam laskar FPI (Front Pembela Islam) di Tol Cikampek pada tanggal 7 Desember 2020. Kasus penembakan enam anggota laskar FPI juga masih penuh kontroversial dan tidak mudah dituntaskan. Apalagi, Komnas HAM masih terus mengumpulkan bukti-bukti adanya dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini.

Setelah Jendera Polisi Idham Azis memasuki masa pensiun, presiden Jokowi kemudian mengajukan kepada DPR satu nama untuk menggantikan Jenderal Polisi Idham Azis, yaitu Jenderal Polisi Listyo Sigit. Ketika Jendral Polisi Listyo Sigit menjabat sebagai Kapolri, pembaharuan kembali terjadi di lembaga Polri. Kapolri Listyo Sigit menggunakan gagasan ‘new-upgrade’ untuk memperbaharui sistem yang ditinggalkan oleh kebijakan Kapolri sebelumnya. Beliau mewujudkan sebuah program POLRI PRESISI yakni sebuah singkatan dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan. Program tersebut merupakan upaya untuk menjadikan Polri sebagai wadah aspirasi masyarakat yang memiliki wajah lebih humanis di setiap anggota Polri. Kapolri juga menekankan bahwa kepolisian tidak selamanya harus menggunakan cara – cara kekerasan untuk menegakkan hukum dan tidak melulu tergesa menyeret setiap kasus ke pengadilan.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Polri), Poengky Indarti mengatakan pekerjaan rumah yang dihadapi oleh Jenderal Kapolri Listyo Sigit sangatlah besar. Apalagi di tengah jabatannya, muncullah kondisi pandemik virus corona atau Covid - 19 yang menggegerkan seluruh dunia serta membuat beberapa negara terpuruk pada aspek ekonomi, sosial, dan politik. Dalam situasi pandemi tersebut, Polri tetap dituntut untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum secara maksimal. Selain itu, Poengky mengatakan, Polri tetap harus fokus menangani berbagai kejahatan, terutama terkait kejahatan seperti jaringan narkoba dan terorisme serta kejahatan siber.

Polri yang sedang mengalami kesulitan dalam masa pandemik ini, tidak membuat mereka untuk bekerja setengah – setengah. Hal ini justru membuat institut Polri untuk selalu bersatu padu dan tidak lengah dalam menghadapi pekerjaan rumah yang ada. Hal inilah yang membuat Jendral Kapolri Listyo Sigit untuk selalu berinovasi dan berkreasi dalam meluncurkan programnya. Secara ringkas, program dari Kapolri Listyo Sigit dapat dirumuskan dalam penjabaran berikut :

1. PREDIKTIF, kemampuan untuk memprediksi situasi dan kondisi yang menjadi isu dan permasalahan yang didasari analisis fakta, data dan informasi yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi. Sederhananya polisi dapat memperkirakan potensipotensi yang mengganggu keamanan masyarakat.

2. RESPOSIBILITAS, rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam ucapan, sikap, perilaku dan responsif dalam melaksanakan tugas. Juga Tindakan penanganan tanpa adanya kekerasan sehingga polisi menjadi harapan masyarakat yang selalu ramah dalam melayani.

3. TRANSPARANSI BERKEADILAN, merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir, sikap yang terbuka. Di tambah dengan tegas dalam bertindak dan ramah dalam bertutur kata. Artinya Polisi memiliki tampilan yang ramah di luar, dan tegas secara prinsip di dalam melayani masyarakat.

Program PRESISI tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai transformasi dan gagasan Polri yang digagas oleh Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit yang semakin menonjolkan sisi humanis. Tentunya, hal tersebut tidak luput dari upaya Polri yang meningkatkan kemampuannya di dalam penguasaan teknologi dan penguasaan bidang kejahatan dunia maya. Langkah konkretnya adalah Kapolri berupaya mengejar di dalam kemampuan tubuh Polri untuk dapat mengamankan lalu lintas di dunia maya dengan membentuk satuan Police Cyber. Sebab penggunaan internet di Indonesia tergolong cukup besar yaitu terdapat 143,26 juta pengguna internet. Tingkat kejahatan yang terjadi dan berkaitan dengan internet juga mengalami peningkatan pada akhir-akhir ini. Salah satu kelebihan lain dari upayanya mengembangkan satuan Police Cyber adalah meningkatnya pengawasan lalu lintas dengan bantuan internet dan penggunaan CCTV di titik-titik wilayah pengawasan. Fungsi Police Cyber adalah menertibkan lalu lintas dalam cakupan wilayah yang luas, sehingga meminimalisir pengawasan langsung yang memerlukan tenaga di satuan kepolisian. Dengan demikian, hadirnya teknologi tersebut dapat dikatakan sebagai pengganti kehadiran petugas di lapangan. Bahkan, dengan adanya Kamera CCTV juga dapat dimanfaatkan untuk merekam kejahatan di jalan raya. Hasil dari rekaman tersebut bisa menjadi bukti untuk kebutuhan penyelidikan pihak berwajib. Dengan tersebarnya CCTV di lampu merah, tentu membuat para pengguna jalan dan masyarakat jadi lebih disiplin. Namun dengan catatan, seluruh kamera CCTV tersebut harus selalu berfungsi dengan baik. Jika tidak tentu hanya jadi hiasan belaka.

Selain itu gebrakan Polri yang lain adalah berusaha mendekati generasi digital dengan meluncurkan aplikasi “E – Dumas Presisi” yang berfungsi sebagai sistem penanganan keluhan masyarakat yang dilakukan oleh Polri melalui online. Sehingga masyarakat tidak perlu melaporkan secara langsung ke kantor Polisi terdekat. Bukan hanya itu aplikasi “Virtual Police” yang berfungsi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai perkara yang bisa menjerat pengguna media sosial dengan UU informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga diluncurkan. Institusi kepolisian juga meluncurkan model kampanye ruang publik dengan memanfaatkan konten-konten seperti keselamatan di jalan raya dengan cara yang humoris. Itulah beberapa perubahan yang saat ini dikejar oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit dengan program PRESISI yang digagasnya.

Perubahan yang dilakukan oleh Kapolri Listyo Sigit memiliki alasan tersendiri yang melatarinya. Di antaranya Polri masih terlihat menggunakan kekerasan dan wajah humanis kurang terwujud di mata masyarakat. Misal pada kasus penanganan mahasiswa Papua di Jawa Timur seperti yang dikemukakan oleh Haris Azhar dalam Institut Independen Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2016 terjadi tindakan represif dan pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian. Sehingga menyebabkan beberapa warga sipil yang berada di dalam asrama terjebak di dalam dan tidak dapat bebas beraktivitas. Selain itu, aparat kepolisian juga sempat melakukan penembakan gas air mata, padahal berdasarkan informasi tidak terdapat tindakan – tindakan membahayakan yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam asrama.

Selain itu, latar belakang Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit dalam meluncurkan program PRESISI adalah ingin membawa perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja Korps Bhayangkara. Misalnya : dengan hadirnya aplikasi, kinerja polisi dapat diawasi tidak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal. Sebab saat ini merupakan era keterbukaan sehingga tidak perlu ada yang harus ditutup-tutupi. Dari situlah kita sebagai warga negara Indonesia dapat mengetahui bagaimana potret polisi dalam menjalankan wewenangnya.

Oleh karena itu, diharapkan sumbatan komunikasi atau informasi terkait penyidikan sebuah kasus dapat dihilangkan sehingga terbentuklah transparansi di dalam penyidikan yang berlangsung. Terkait dengan aplikasi tersebut, Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono mengatakan, peluncuran program tersebut merupakan komitmen Polri dalam rangka menghadirkan pelayanan kepolisian yang semakin modern, prima, dalam menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan perubahan dan perkembangan sosial dan budaya masyarakat. Peluncuran aplikasi tersebut dinilai sangat tepat mengingat masyarakat saat ini sudah semakin akrab dengan dunia digital dan sangat menekankan kecepatan dan kemudahan di dalam mendapatkan pelayanan.

Respon masyarakat terhadap program Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit pun sangatlah beragam. Beberapa dukungan kepada program Kapolri muncul dari beberapa lembaga masyarakat, seperti dukungan dari Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H. Maming. Ketua Hipmi berharap, agar Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit dapat menjalankan tugas pokok serta membawa Polri semakin maju dan profesional serta bercitra humanis. Iya pun berharap melalui beberapa program yang dibuat oleh Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit dapat lebih memaksimalkan koordinasi dan komunikasi antar lembaga guna memudahkan dan menyelesaikan berbagai macam pekerjaan rumah dan permasalahan. Maming juga berharap, Polri ke depannya dapat lebih bersahabat dengan masyarakat dan selalu hadir di tengah rakyat tanpa melihat pangkat dan jabatan serta keterbatasan.

Dukungan yang lain juga muncul dari Ketua Umum Jamaah, Yasin Nusantara (JAYANUSA) yang aktif pada Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK), Idham Cholid berpendapat bahwa bila dicermati dengan baik, konsep program pada Kapolri Jendral Listyo Sigit sangatlah luar biasa. Tidak saja mengubah citra dan wajah kepolisian, tetapi menjadikannya lebih “tepat guna” sesuai dengan perubahan sosial masyarakat yang demikian cepat. Beliau berkata bahwa lebih dari sekadar mengubah kelembagaan, kebijakan itu akan sekaligus mengoptimalkan perannya dalam menjamin keamanan sebagaimana yang menjadi komitmen utama dalam Polri. Idham juga memberikan pesan terkait program pencegahan korupsi agar dapat menjadi strategi yang lebih komprehensif di masa depan. Dalam hal ini, Beliau mengusulkan untuk dapat diprogramkan serta dengan melibatkan seluruh kekuatan masyarakat. Misalnya, dengan membentuk Satgas Antikorupsi baik di kalangan pemuda, mahasiswa, maupun untuk kalangan remaja-remaja yang masih duduk di SMA. Dengan demikian, menurut Idham Cholid pendidikan antikorupsi akan lebih “tepat guna” programnya.

Dorongan yang sama terhadap program Kapolri Jendral Listyo Sigit juga datang dari Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (UNPAD). Muradi mengatakan Kapolri Jendral Listyo Sigit telah membuat citra Polri yang humanis semakin meningkat. Dengan demikian, dari segi penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas) juga harus ditingkatkan. Karenanya, Kapolri Jendral Listyo Sigit harus mengakomodir harapan publik. Iya pun berpendapat bahwa Kapolri Jendral Listyo Sigit dekat dengan Presiden secara personal dan sering diskusi. Oleh karena itu, dapat menjadi nilai tambah untuk menjernihkan Polri dari segi ritme pekerjaan, yakni ritme kerja dan harapan publik yang harus diintegrasikan lagi.

Tetapi sebaik apapun program yang dibuat manusia, berlaku pepatah, tiada gading yang tak retak. Gagasan dari Kapolri Listyo Sigit bukanlah program yang sempurna serta masih menuai kritik dari beberapa pengamat kebijakan kepolisian. Menurut Luh Putu Mahyuni yang menulis jurnal di Universitas Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa era Polri sekarang hanya bagus di bagian respons dan transparan. Hal ini dapat dilihat dari segi program “Quick Response” yang menekankan kepada pelayanan kepolisian terhadap pengaduan atau laporan dari masyarakat, dapat disikapi dengan cepat dan tepat. Memang itu akan mengubah mindset masyarakat yang dulunya menganggap Polri tidak memberikan pelayanan dengan cepat, menjadi berubah positif citranya saat ini.

Namun buruknya kelemahan sistem Polri saat ini terdapat di bagian keadilan yakni kurangnya koordinasi yang terjadi di dalam tubuh kepolisian seperti yang dikutip dalam laman website Universitas Bina Nusantara oleh Agus Riyanto. Menurut Riyanto, masyarakat menilai Polri masih melakukan tebang pilih di dalam menegakkan keadilan yakni masyarakat kalangan atas yang berbeda penegakan keadilannya dengan masyarakat kalangan bawah. Polri terlihat lebih tegas terhadap masyarakat kalangan bawah dibanding kepada masyarakat kalangan atas.

Pernyataan Riyanto tersebut memiliki dasar yang kuat, sebab publik akhir-akhir ini menilai Polri telah melakukan tebang pilih. Seperti dalam penanganan kasus narkoba Aldi Bakrie dan Nia Rahmadhani yang penanganannya terlihat berbeda dengan kasus narkoba masyarakat kalangan bawah yang segera masuk ke bui. Berbeda dengan Aldi Bakrie selaku CEO TV One, anak seorang konglomerat Aburizal Bakrie beserta istrinya hanya berujung pada rehabilitasi. Hal itu dipastikan setelah pihak kepolisian Polres Metro Jakarta Pusat menyerahkan Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie kepada Badan Narkotika Nasional (BNN). Padahal, penyidik mengenakan Pasal 127 (1) UU RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan sesuai pasal tersebut, ancaman hukuman yang berlaku bagi Nia dan Ardi, yaitu maksimal 4 tahun penjara. Perlakuan Polri terhadap kaum menengah atas sangat berbeda dengan perlakuan terhadap golongan rakyat bawah.

Seperti dalam laporan Ketut Inten Wiryani yang menuliskan jurnal yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Udayana mencatat bahwa seorang nenek yang bernama Saulina dari Sumatera Utara divonis hukuman 1 bulan 14 hari oleh hakim karena menebang pohon durian berdiameter 5 inci milik kerabatnya dengan alasan ingin membangun makam untuk leluhurnya. Padahal, masyarakat yang ada di sekitar lokasi tidak pernah melihat Japaya menanam pohon durian yang diperkarakan. Ia mengaku sudah pernah meminta maaf kepada Japaya, namun yang bersangkutan meminta uang ganti rugi senilai ratusan juta Rupiah sebagai bentuk damai. Saulina pun tidak mampu memenuhi permintaan tersebut hingga akhirnya dilaporkan ke polisi. Saulina kemudian ditahan dipenjara selama 4 bulan 10 hari. Memang secara perundang-undangan, Aldi Bakrie dan istrinya mampu memperjuangkan putusan hukum karena mampu membayar pengacara dan kemudian ia dan istrinya berhak memperolah kemenangan secara legal di pengadilan. Tetapi di zaman yang sudah terkonektivitas di antara masyarakat, peristiwa seperti itu masih sulit dipahami kaum awam yang belum teredukasi mengenai hukum. Namun dalam sejarahnya, suara kaum awam di negeri ini menjadi objek bagi kelompok oposisi dalam menentang pemerintahan. Sehingga suasana yang keruh dapat dimanfaatkan untuk menyerang pemerintahan dan akhirnya memperburuk pimpinan Polri dengan gagasannya tersebut.

Lemahnya penegakan keadilan era Kapolri Jendral Polisi era Listyo Sigit juga tertulis pada institusi Lembaga independen Komnas Ham, yang dipaparkan oleh Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM. Hapsara mempertanyakan apakah program prioritas Polri tersebut masih memiliki sisi humanis atau tidak? Sebab contoh kasus yang dihadapi Florence Sihombing, mahasiswa S-2 UGM yang akhirnya berurusan dengan kepolisian, setelah kicauannya dalam mengungkapkan ujaran kebencian yang dinilai menghina Yogyakarta di media sosial tersebar ke penjuru Indonesia. Florence menyampaikan amarahnya karena ingin mengisi bensin di salah satu SPBU di Yogyakarta. Namun, Ia masuk ke antrean yang salah dan tidak dilayani. Kemudian, Florence pun dijerat dengan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebelumnya, Florence mengaku belum mendapat surat perintah penangkapan namun telah ditahan. Sehingga dari hal tersebut, di mana Polri juga mengebiri kebebasan berpendapat, telah menimbulkan reaksi negatif dari generasi muda saat ini yang kritis terhadap Pemerintah. Generasi muda yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro (BEM Undip) yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bereaksi keras terhadap tindakan Polri tersebut.

Selanjutnya program Polri yang mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat adalah mengenai keberadaan Polisi Virtual. Masyarakat menilai, keberadaan polisi virtual di satu sisi merupakan pendekatan yang tepat kepada generasi digital, tetapi di sisi lain polisi virtual di media sosial lebih menampilkan Polri sebagai pengancam kebebasan berpendapat, jauh dari kesan Polisi yang demokratis. Sebab Polisi Virtual akan langsung melaporkan ke atasan jika menemukan konten yang berpotensi melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mekanismenya adalah yang pertama, unggahan konten yang diserahkan oleh petugas juga akan diujikan dan di analisa oleh para ahli, seperti ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE. Jika terdapat potensi tindak pidana, unggahan konten itu akan diserahkan ke Direktur Tindak Pidana Siber atau pejabat yang ditunjuk. Setelah disetujui, maka polisi virtual akan mengirimkan peringatan kepada pemilik akun.

Kemunculan polisi virtual saat ini menjadi bahan perdebatan di media sosial. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa keberadaan polisi virtual dapat menekan masyarakat untuk takut berkomentar di media sosial dan karena itu citra demokratis di Polri menjadi menurun. Menurut Pakar Literasi Digital dari Universitas Gajah Mada, Dr. Novi Kurnia, polisi virtual adalah upaya Polri memodulasi konten negatif di dunia maya terutama yang mengarah pada pelanggaran pidana. Polisi virtual ini menurutnya baik, namun harus tetap memperhatikan sejumlah aspek dalam pelaksanaannya. Aspek yang dimaksud adalah mengenai proses, transparansi, perlindungan data diri, hak pengguna digital hingga kolaborasi modulasi konten. Pelacakan dan persoalan transparansi juga harus menjadi perhatian polisi virtual. Menurutnya, Polri harus mengedukasi atau menyosialisasikan pengguna media tentang konten seperti apa yang dianggap sebagai konten negatif atau mengarah pada tindak pidana.

Sorotan selanjutnya yang menjadi bahan perbincangan bagi masyarakat umum datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). YLBHI memberikan sejumlah saran dan kritikan terkait rencana Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit dalam mengintegrasikan Pasukan Pengamanan atau PAM Swakarsa dengan teknologi dan fasilitas Polri. Asfinawati mengatakan, jika yang dimaksud integrasi, adalah diberikannya akses terhadap fasilitas dan teknologi yang dimiliki Kepolisian, hal tersebut merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Jika yang kedua ini artinya dalam tanda kutip mempersenjatai sipil, maka akan terjadi abuse of power. Sebagai informasi dari website Universitas Indonesia Fauzan Dewanda Dawangi selaku Wakil Kepala Departemen Kajian dan Literasi, PAM Swakarsa pernah muncul pada tahun 1998. Saat itu PAM Swakarsa merupakan kelompok bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung sidang istimewa MPR. Asfinawati juga mengkritik rencana Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo memangkas peran Kepolisian Sektor atau Polsek. Melalui pakar bidang kriminologi dan kepolisian, Adrianus Meliala mengatakan bahwa secara umum, peran teknologi informasi di tubuh Polri masih sangat terbatas. Sehingga, tidak mendukung Polri di dalam upaya penguasaan teknologi tersebut. Meskipun, faktanya Polri mempunyai Divisi Teknologi Informasi, tetapi tidak terdapat aplikasi teknologi informasi yang dapat berlaku untuk seluruh Polri Indonesia. Di satu sisi, banyak aplikasi yang hanya berlaku di tingkat polda ataupun khusus di satuan kerja tertentu. Berkaitan dengan itu, Adrianus menyebut bahwa sangat susah membayangkan organisasi sebesar Polri, namun dengan tugas beraneka ragam, bisa bekerja optimal tanpa dukungan teknologi informasi memadai. Misalnya, proses kerja dari satuan yang merupakan andalan Polri masih dilakukan secara manual, dan minim dukungan teknologi informasi.

Institute Criminal Justice Reform (ICJR) juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk terus mengevaluasi kinerja Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo akibat adanya anggota Polri yang bertindak sewenang-wenang dalam mengamankan penjual kaus '404: Not Found' di Jawa Timur. Seperti yang terjadi oleh seorang pria bernama Riswandi yang harus berurusan dengan kepolisian. Ia diciduk petugas kepolisian setelah mengunggah desain kaus yang menggambarkan wajah tertutup Presiden Republik Indonesia Jokowi dengan tulisan '404:Not Found'. Riswan diketahui mengunggah gambar di akun media sosial. Tak lama setelah diinterogasi, Riswan akhirnya dibebaskan namun dengan persyaratan membuat rekaman video yang berisi permintaan maaf. Menurut peneliti ICR, Iftitahsari yang menyebut bahwa tindakan institut kepolisian dalam mengamankan penjual kaus tidak sesuai dengan prosedur hukum. Terlebih, apabila polisi menilai tindakan warga tersebut merupakan penghinaan presiden, seharusnya menunggu adanya aduan secara individu dari Presiden Republik Indonesia yakni Jokowi. Menurutnya, iklim ketakutan yang diciptakan aparat dapat menjadikan masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapat. Termasuk menyampaikan kritik maupun sekadar berekspresi mengungkapkan pikiran dan perasaannya di depan khalayak umum.

Selain itu, kekurangan dari gagasan Kapolri saat ini ada pada fungsi pembinaan di tubuh Polri. Data menunjukkan terdapat kinerja yang rendah di kelembagaan Polri karena tidak digunakannya sistem merit. Penjelasan mengenai sistem merit yang dimaksud adalah ditandai dengan proses rekrutmen yang tidak terbuka dan kinerja persaingan yang tidak sehat. Eko Prasojo yang menulis dalam jurnal yang diterbitkan fakultas administrasi Universitas Indonesia menyatakan proses perekrutan seperti itu mengganggu struktur jabatan di tubuh Polri sehingga kriteria yang tidak ditentukan kuota sejak awal berpotensi mengambil alih kuota peserta yang lain. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa belum terdapat peraturan yang jelas untuk mengatur dengan tegas tentang proses rekrutmen dan seleksi bintara Polri di tahun 2018.

Transformasi Polri yang humanis, apakah perubahan yang positif atau negatif ? Ya, Polri mengalami perubahan positif. Hanya dengan memenuhi syarat jika Polri tidak mengabaikan opini yang bergulir yang menyatakan adanya pengabaian pada aspek keadilan. Sebab minimnya edukasi di masyarakat mengenai sistem hukum di Indonesia hanya akan merusak citra Polri yang humanis. Citra yang dibangun dengan susah payah tersebut dapat rusak jika antipati dan skeptisisme tumbuh di masyarakat. Sehingga sinergi antara masyarakat dengan Polri akan berkurang dan upaya memerangi kejahatan menjadi terhambat. Selain itu, di dalam tubuh Polri perlu untuk dibangkitkan kembali moral di tubuh jajarannya. Sehingga koordinasi dari pucuk pimpinan hingga jajaran paling bawah dapat terbangun disiplin dan kepatuhan yang tinggi. Ini adalah beban yang harus diemban oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit di era kepemimpinannya yang berusaha meninggalkan warisan yang baik di tubuh Kapolri.

Beban yang harus diemban oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit tentunya menjadi harapan besar masyarakat Indonesia. Kapolri dengan program dan gagasannya diharapkan dapat memenuhi harapan besar masyarakat yang sudah mengalami perubahan citra yang lebih baik. Sehingga Polri bukanlah institusi yang berwajah humanis, tetapi minim prestasi. Sebaliknya institusi Polri dapat memenuhi tuntutan masyarakat yaitu berwajah humanis dan prestasi yang baik, juga profesional dalam pekerjaannya. Mengubah image dan persepsi polisi ke arah yang lebih baik, bukan hanya dilakukan oleh Institut kepolisian, melainkan tugas kita bersama, warga negara Indonesia. Mari jadikan lembaga kepolisian menjalankan tugas sebenar-benarnya! Kami rakyat Indonesia, hanya berharap kepada Polri Republik Indonesia, supaya berlaku amanah dan jujur, untuk menjalan tugas mereka sebagai pelindung kebenaran! Namun, tugas seorang polisi juga tidaklah mudah. Oleh karena itu sebagai masyarakat, kita juga hendak menghormati polisi karena telah memberikan keamanan dan perlindungan di tengah masyarakat kita.

|| Indonesia Tumbuh. Indonesia Tangguh. || ~ Anathalia Meyskina Pangestu, SMA SWASTA KRISTEN KALAM KUDUS

SUMBER :

https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/53739-polri-vs-mafia-hukum

https://media.neliti.com/media/publications/281770-sistem-sentralisasikepolisian-indonesia-51ae17bb.pdf

https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16202/10748

https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/288

https://kontras.org/2016/07/18/pengepungan-asrama-papua-oleh-anggota-poldayogyakarta-bukti-10-program-prioritas-kapolri-baru-hanya-omong-kosong/

http://www.jurnalptik.id/index.php/JIK/article/view/160

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/download/54710/32386/

https://www.polri.go.id/tentang-sejarah

https://nasional.tempo.co/read/1420227/ipw-nilai-idham-azis-tinggalkan-2-kasusbesar-untuk-kapolri-baru/full&view=ok

 

Pin It